Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Senin, 24 Desember 2012

SYUBHAT NATAL


SYUBHAT NATAL

http://www.suara-islam.com/read6155-SYUBHAT-NATAL.html
 

Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc., MA

(Ketua Umum Front Pembela Islam)

 

Pada tanggal 1 Jumadil Ula 1401 H / 7 Maret 1981 M, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Natal Bersama yang intinya bahwa mengikuti Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya HARAM, dengan hujjah antara lain : Surat Al-Kaafiruun 1 - 6, Surat Al-Baqarah : 42, Hadits Nu'man ibnu Ba'syir tentang Syubhat, dan Kaidah Ushul "Dar'ul Mafaasid Muqaddamun 'alaa Jalbil Mashaalih" (Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil mashlahat).

Ketika itu, Rezim yang berkuasa tidak suka terhadap Fatwa MUI tentang Natal Bersama, karena dianggap anti toleransi dan bertentangan dengan semangat pluralisme. Lalu MUI dipaksa untuk mencabut Fatwanya, tapi almarhum Buya Hamka selaku Pimpinan MUI kala itu lebih suka meletakkan jabatannya daripada menarik kembali Fatwa tersebut, demi untuk menjaga aqidah umat Islam.

Belakangan, tampil sejumlah "Tokoh Islam" yang menggulirkan "Fatwa" bahwa Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya BOLEH, dengan menyampaikan sejumlah argumentasi yang tidak lepas dari MANIPULASI HUJJAH dan KORUPSI DALIL. Fatwa Kontroversial mereka tersebut sangat digandrungi oleh KAUM SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), bahkan dijadikan Rujukan Utama hingga kini. Fatwa Aneh tersebut telah menebar SYUBHAT yang melahirkan FITNAH di tengah umat Islam.

Syubhat Natal adalah pemutar-balikkan ayat mau pun hadits untuk menyamarkan hukum Natal yang sebenarnya sudah jelas keharamannya, sehingga Natal Haram diupayakan menjadi Natal Halal, sekurangnya menjadi Natal Syubhat. Berikut beberapa Syubhat Natal dan jawabannya :


1. SYUBHAT PERTAMA :

Dalam Al-Qur'an cukup banyak ayat yang bercerita tentang Nabi 'Isa as sekaligus menjadi hujjah bahwa umat Islam wajib mencintai, menghormati dan mengimani beliau sebagai salah seorang Rasul. Bahkan dalam Surat Maryam : 33, Allah swt menceritakan ucapan Nabi 'Isa as yang berbunyi : "Wassalaamu 'alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu wa yauma ub'atsu hayyan" (Keselamatan atasku di hari aku dilahirkan dan hari aku mati serta hari aku dibangkitkan dalam keadaan hidup). Dengan dasar itu semua, maka merayakan dan saling mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi 'Isa as menjadi sejalan dengan semangat Al-Qur'an, sekaligus menjadi bukti cinta, hormat dan iman kita kepada Nabi 'Isa as.

JAWABAN :

Iman kepada Para Rasul merupakan salah satu Rukun Iman. Dan Nabi 'Isa as merupakan salah satu Rasul yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi 'Isa as yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati Hari Lahirnya.

Andaikata pun kita ingin merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as dengan dasar ayat 33 Surat Maryam, maka kita akan kesulitan menentukan tanggalnya, karena tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an atau Hadits Nabi saw atau Atsar dari Shahabat, Tabi'in mau pun Tabi'it Tabi'in, yang menginformasikan tentang tanggal kelahiran Nabi 'Isa as.


2. SYUBHAT KEDUA :

Dalam Hadits Muttafaqun 'Alaihi yang bersumber dari Sayyiduna 'Abdullah ibnu Sayyidina 'Abbas ra diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah menerima informasi dari Yahudi tentang Kemenangan Nabi Musa as di Hari 'Asyura (10 Muharram), lalu Nabi saw dan para Shahabatnya merayakan Kemenangan Musa as di hari itu dengan berpuasa. Jika Nabi saw menerima INFO YAHUDI tentang tanggal bersejarah 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as lalu merayakannya, maka tidak mengapa kita menerima INFO NASHRANI tentang tanggal bersejarah 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi 'Isa as dan merayakannya pula.

JAWABAN :

Dalam Hadits Muttafaqun 'Alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna 'Aisyah ra menerangkan bahwa Puasa 'Asyura sudah dilakukan masyarakat Quraisy sejak zaman Jahiliyyah, dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa Ramadhan di tahun kedua Hijriyyah.

Jadi, Puasa Nabi saw di Hari 'Asyura bukan meniru-niru perbuatan Yahudi. Apalagi dalam sebuah Hadits Shahih disebutkan tentang niat dan anjuran Nabi saw buat umatnya agar juga Puasa Tasu'a (9 Muharram) untuk membedakan Puasa Umat Islam dengan Puasa Yahudi di hari 'Asyura.. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tuntunan Nabi saw adalah tidak meniru-niru perbuatan kaum kafirin, apalagi dalam sebuah Hadits lainnya beliau saw menegaskan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian darinya.

Memang, sikap Nabi saw yang diartikan sebagai bentuk perayaan terhadap Hari Kemenangan Nabi Musa as bisa dijadikan dalil pembenaran syar'i bagi perayaan Hari Bersejarah seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi 'Isa as. Namun itu tidak boleh dijadikan dalil pembenaran syar'i bagi tanggal 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi 'Isa as. Apalagi dijadikan dalil buat meniru-niru Nashrani dalam merayakan Natal.

Penerimaan Nabi saw terhadap INFO YAHUDI tentang tanggal 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as menjadi PEMBENARAN SYAR'I bagi info tersebut, karena Sunnah Nabi saw adalah sumber hukum Islam yang autentik setelah Al-Qur'an. Artinya, info itu menjadi benar bukan karena datangnya dari Yahudi, tapi karena DIBENARKAN oleh Nabi saw. Sedang INFO NASHRANI tentang tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as tidak memiliki PEMBENARAN SYAR'I sama sekali, sehingga tidak bisa dibenarkan.

3. SYUBHAT KETIGA :

Ada Hadits Rasulullah saw yang membolehkan umat Islam menyampaikan berita yang berasal dari Ahlul Kitab. Karenanya, jika Nashrani di seantero dunia sudah sepakat merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa pada tanggal 25 Desember, maka itu bisa menjadi bagian berita Ahlul Kitab yang boleh kita terima.

JAWABAN :

Memang, ada Hadits tentang kebolehan menyampaikan berita Ahlul Kitab, tapi ada Hadits juga yang mengarahkan umat Islam agar tidak mempercayai (membenarkan) dan tidak pula mendustakan (menyalahkan) berita Ahlul Kitab. Maksud berita Ahlul Kitab adalah segala info yang datang dari Kitab-kitab suci atau Doktrin Asli ajaran agama Yahudi dan Nashrani. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengklasifikasikan berita Ahlul Kitab menjadi tiga katagori, yaitu :

a.  Info yang dibenarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah maka wajib diterima,

b.  Info yang ditentang Al-Qur'an dan As-Sunnah maka wajib ditolak.

c.  Info yang tidak dibenarkan dan tidak pula ditentang Al-Qur-an dan As-Sunnah maka wajib tawaqquf, yaitu tidak menerima dan tidak juga menolak.

Lalu, berita Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember masuk katagori berita Ahlul Kitab yang mana ? Atau bahkan tidak termasuk katagori yang mana pun ?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat terlebih dahulu tentang Hari Lahir Nabi 'Isa as dalam Bibel. Berikut DATA BIBEL tentang Kelahiran Nabi 'Isa as :

A. Lukas 2 : 4 – 7

Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Sayyidatuna Maryam as saat hamil tua bermusafir ke Yerusalem, setibanya disana ia tidak mendapatkan penginapan karena semuanya sudah penuh terisi, sehingga ia melahirkan di palungan (tempat jerami). Lalu dalam Lukas 2 : 41 ada keterangan bahwa setiap tahun Orang tua Nabi 'Isa as datang mengunjungi Yerusalem di Hari Raya Paskah yaitu Hari Raya Bani Israil yang jatuh pada awal musim gugur. Itulah sebabnya, walau hamil tua Sayyidatuna Maryam as tetap musafir karena pentingnya Hari Raya tersebut, dan itu pula sebabnya semua penginapan penuh karena di Hari Raya tersebut semua Bani Israil mendatangi Yerusalem. Artinya, menurut DATA BIBEL bahwa Nabi 'Isa as lahir di awal musim gugur, dan itu tentu bukan bulan Desember melainkan awal Sepetember.

 

B. Lukas 2 : 8 – 11

Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa di malam kelahiran Nabi 'Isa as, di sekitar Yerusalem para gembala sedang menjaga kawanan ternaknya di padang terbuka. Dan dalam Ezra 10 : 9 - 13 serta Kidung Agung (Nyanyian Solomon) 2 : 9 - 11, ada keterangan bahwa di musim hujan / dingin semua ternak disimpan dalam kandang dan semua manusia berada di rumah, tidak keluar tanpa keperluan yang mendesak, karena mereka tidak sanggup menahan dingin di luar rumah. Dengan demikian, DATA BIBEL ini pun menunjukkan bahwa saat Nabi 'Isa as dilahirkan bukan musim hujan / dingin, karena manusia dan ternak masih sanggup di padang terbuka pada malam hari. Artinya, Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, karena Desember di Yerusalem musim hujan dan hawa sangat dingin, sehingga tidak mungkin ada rombongan gembala pada malam hari menjaga kawanan ternak di padang terbuka.

C. I Tawarikh (Chronicle) 24 : 10 dan Lukas 1 : 5 – 38

Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Nabi Zakaria as dan rombongannya dalam kelompok Abia mendapat tugas menjaga Rumah Tuhan pada giliran ke delapan, dan itu menurut Kalender Hebrew jatuh pada tanggal 27 Iyar - 5 Sivan, atau bertepatan dengan tanggal 1 - 8 Juni (Awal Juni). Lalu ketika tugas itulah Nabi Zakaria as mendapat wahyu tentang kehamilan istrinya yang kelak akan melahirkan Nabi Yahya as. Artinya, 9 bulan setelah tugas itu menurut masa kehamilan normal maka Nabi Yahya as dilahirkan, yaitu awal Maret. Kemudian diinformasikan bahwa usia Nabi 'Isa as 6 bulan lebih muda daripada Nabi Yahya as. Artinya, jika Nabi Yahya as dilahirkan awal Maret maka Nabi 'Isa as dilahirkan 6 bulan sesudahnya, yaitu Awal September.

Dengan demikian DATA BIBEL di atas juga menginformasikan bahwa Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember.

Seorang Pastur dari Gereja Wolrdwide Church of God di Amerika Serikat, Herbert W. Armstrong (1892-1986), dalam bukunya yang berjudul The Plain Truth About Christmas menyatakan bahwa Nabi 'Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, dan Perayaan Hari Raya Natal bukan ajaran asli gereja, melainkan bersumber dari ajaran paganisme (penyembah berhala) yang sejak lama, jauh sebelum kelahiran Nabi 'Isa as, telah merayakan Hari Kelahiran Dewa Mithra sebagai Dewa Matahari mereka pada tanggal 25 Desember.

Pendapat Pastur Herbert tersebut sejalan dengan keterangan dalam Encyclopedia Britannica dan Encyclopedia Americana. Kedua Literatur tersebut mendefinisikan Natal sama seperti pernyataan Pastur Herbert di atas.

Pada tahun 1993, seorang Astronom Inggris, David Hughes dari Universitas Sheffield, dalam sebuah wawancara dengan Britain's Press Association (BPA), yang dikutip oleh Kantor Berita Reuter, menyatakan bahwa Nabi 'Isa as diduga kuat lahir pada tanggal 15 September 7 tahun sebelum Masehi, karena pada tanggal tersebut terjadi siklus pertemuan 840 tahunan sekali antara planet Yupiter dan Saturnus, yang dari permukaan Bumi terlihat bagai Bintang Terang yang langka. Menurutnya, itulah Bintang Terang yang terlihat di malam kelahiran Nabi 'Isa as sebagaimana diinfokan Bibel dalam Matius 2 : 1 -12.

Selain itu, tercatat dalam beberapa literatur sejarah Nashrani, bahwa tiga abad pertama Masehi tidak ada umat Nashrani yang merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as. Dan awal abad keempat Masehi, perayaan tersebut mulai muncul di tengah umat Nashrani, tapi pada tanggal yang berbeda-beda, seperti 6 Januari, 28 Maret, 18 April dan 28 Juni. Baru pada tahun 354 M, Paus Liberius di Roma memutuskan tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as. Keputusan itu diikuti oleh Gereja Roma di Konstantinopel pada tahun 375 M dan di Antakia pada tahun 387 M. Selanjutnya menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini.

Kesimpulannya, Data Bibel dan Data Astronomi serta Literatur Kristiani lainnya menolak kemungkinan Kelahiran Nabi 'Isa as pada bulan Desember, sehingga INFO NASHRANI tentang kelahiran Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember adalah info yang tidak termasuk dalam katagori berita Ahlul Kitab, karena Bibel sendiri menolak. Info tersebut adalah INFO FIKTIF yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar'I mau pun secara ilmiah akademis.

4. SYUBHAT KEEMPAT :

Pada prinsipnya, umat Islam boleh KAPAN SAJA merayakan Hari Kelahiran seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi 'Isa as, untuk memuliakan mereka para Utusan Allah SWT. Maka, tidak ada masalah memperingati Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember atau tanggal lainnya, walau pun tanggal Lahir Nabi 'Isa as masih diperdebatkan kalangan Kristiani sendiri.

Hanya saja, peringatan Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember lebih tepat untuk membangun toleransi antar umat beragama dalam rangka menyuburkan keharmonisan hubungan Islam - Nashrani.

JAWABAN :

Justru, merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as bersamaan dengan umat Nashrani pada tanggal 25 Desember menjadi MAZHONNATUL FITAN (sumber fitnah) yang sangat berbahaya, antara lain :

a.  Justifikasi kebohongan umat Nashrani dalam penetapan tanggal Hari Lahir Nabi 'Isa as.

b.  Justifikasi kesesatan keyakinan umat Nashrani yang merayakan Natal sebagai Hari Lahir Nabi 'Isa as sebagai ANAK TUHAN.

c.  Membuat BID'AH DHOLALAH karena merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as dengan dasar INFO FIKTIF NASHRANI.

d.  Pencampur-adukkan aqidah haq dengan bathil.

e.  Menjerumuskan kalangan awam dari umat Islam yang kebanyakan lemah iman.

f.   Pelecehan terhadap kemuliaan Nabi 'Isa as, karena Hari Lahirnya dirayakan dengan Data Dusta, ditambah lagi dibarengi dengan umat Nashrani yang merayakannya sebagai Hari Lahir Anak Tuhan.

Dengan demikian, merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as pada tanggal 25 Desember bukan bentuk toleransi antar umat beragama, tapi bentuk pencampu-adukkan aqidah yang sangat dilarang dalam Islam. Dan itu tidak akan menyuburkan keharmonisan hubungan antar Islam - Nashrani, tapi akan menyuburkan PENDANGKALAN AQIDAH yang bisa mengantarkan kepada pemurtadan.

Sikap umat Islam yang tidak mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Natal, dan ikut menjaga kondusivitas suasana dalam masa Natal dan Tahun Baru, serta memberi kesempatan kepada mereka merayakannya secara semarak di berbagai tempat, mulai dari Gereja, Pabrik, Kantor hingga Istora Senayan, sebenarnya sudah LEBIH DARI CUKUP sebagai bentuk toleransi mayoritas Muslim kepada minoritas Nashrani di negeri Indonesia tercinta ini.

5. SYUBHAT KELIMA :

Andai pun umat Islam tidak merayakan Hari Lahir Nabi 'Isa as bersama umat Kristiani pada tanggal 25 Desember, karena khawatir terganggunya aqidah. tapi setidaknya tidak mengapa sekedar mengucapkan SELAMAT NATAL kepada mereka untuk penghormatan dan maslahat pergaulan. Apalagi bagi Tokoh Islam yang jelas sudah mantap aqidahnya dan diperlukan pemantapan hubungan pergaulan Lintas Agamanya, sehingga kekhawatiran semacam itu tidak perlu ada sekaligus tidak lagi menghalangi Tokoh Islam dalam meningkatkan Dakwah Lintas Agama.


JAWABAN :

Natal secara Estimologi adalah Hari Lahir. Dan secara Terminologi adalah Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan, sebagaimana ditulis oleh berbagai Ensiklopedi. Dan sebutan HARI NATAL hanya digunakan dalam makna Terminologi. Artinya, jika seseorang mengucapkan SELAMAT NATAL maka sesuai makna Terminologinya berarti mengucapkan "Selamat Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan". Dan itu jelas haram bagi umat Islam.

Jika seorang Muslim terlanjur mendapat ucapan Selamat Natal dari siapa pun, maka mesti dijawab dengan Surat AL-IKHLASH yang berintikan Keesaan Allah SWT yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Syariat Islam buat semua lapisan umatnya, Ulama dan Awam, Pejabat dan Rakyat, Kaya dan Miskin. Karenanya, apa pun yang menjadi MAZHONNATUL FITAN diharamkan, baik bagi yang imannya kuat, apalagi yang imannya lemah. Lebih-Iebih jika Mazhonnatul Fitannya menyangkut aqidah sebagaimana telah diuraikan tadi.

Bukankah memandang wanita yang tidak halal, apalagi berjabat-tangan dengannya, diharamkan bagi laki-laki, termasuk Rasulullah saw sekali pun, karena hal itu merupakan Mazhonnatul Fitan yang bisa menggerakkan syahwat dan mengundang fitnah. Padahal kita sama tahu dan yakin bahwa IMAN dan TAQWA Rasulullah saw adalah yang terkuat dan terbaik, sehingga syahwat beliau saw tidak akan terpancing hanya dengann memandang atau berjabat-tangan dengan wanita mana pun yang tidak halal baginya, namun sungguh pun demikian beliau saw tidak mau melakukannya karena Mazhonnatul Fitan yang wajib dihindarkan.

Karenanya, tidak ada alasan bagi Tokoh Islam untuk menghalalkan Natal dengan dalih asal aqidah kuat. Bahkan ketokohan mereka semestinya membuat mereka lebih hati-hati dalam bersikap, karena mereka adalah teladan yang akan diikuti umat yang kebanyakan beraqidahkan lemah. Sikap Tokoh Islam yang mengikuti Natal jelas bisa menjerumuskan umat.

Minggu, 16 Desember 2012

Keutamaan Silaturahmi


Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.

Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya,

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

Artinya: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad 47:22-23).

وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).

Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam ,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.

At Tirmidzi dalam Jami’nya, no. 1865, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10 riwayat.

MAKNA KOSA KATA HADITS
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).

FAIDAH HADITS
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ

Artinya: “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).

Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,

Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.

Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala ,

يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).

Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).

Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]

Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta’ala ,

وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ …..

Arinya: “Dan sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).

Bermakna umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :

Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang lainnya, sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding yang lainnya.

Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.

Sebagian orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama. Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.

Jawaban yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini berdasarkan apa yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau bersabda,

أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ عُمْرِيْ ؟ قَالَ أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ سَنَةً فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ

Artinya: “Sesungguhnya Adam ketika meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi dari keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat seorang laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?” Allah menjawab,”Anakmu, Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?” Dijawab,”Umurnya 40 tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?” Dijawab,”Seribu tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat. Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih tersisa enam puluh tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Lalu Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat) lupa. Dan Adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat) mengingkari.” ” [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia berkata,”Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth dalam Jami’ul Ushul (2/141). Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]

Dan telah diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan. Demikian juga umur Daud telah ditetapkan empat puluh tahun, kemudian ditambah*) enam puluh tahun. Inilah makna perkataan Umar,”Ya Allah jika Engkau telah menulis, bahwa saya termasuk orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis saya sebagai orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan (apa yang Engkau kehendaki).” Allah telah mengetahui apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana cara terjadinya. Allah mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa yang akan ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak mengetahui, kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para ulama mengatakan, bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang baru yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan dan penetapan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.

Karena Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang, kemudian berfirman (yang artinya),“Apabila dia menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.” Dan malaikat tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah tidak. Sedangkan Allah mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga apabila datang waktunya, maka tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (8/517)]

Ibnu Hajar Rahimahullah menjawab permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman Allah,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ

Artinya: “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).

Untuk mancari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam , bahwa umur umat ini lebih pendek dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi kemudian Allah menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).

Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan. Sehingga namanya akan tetap dikenang. Seolah-olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di antara hal yang bisa mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.

Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Ta’ala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.

Dalam ilmu Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturahim, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman Allah,

يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).

Jadi, yang dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat. Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih menggantung).

Yang pertama tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas. Karena al atsar ialah sesuatu yang mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka menjadi baik untuk membawanya kepada keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata, ”Jalan yang pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]

Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama setelah meninggalnya.

Akhirnya, inti yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu’anhu.

Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang berbunyi,

صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ

Artinya: “Silaturahim bisa menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]

Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya ialah :

Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairh, beliau bersabda,

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun ‘alaihi).

Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala . Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ,

خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ

Artinya: “Allah menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).

Ibnu Abi Jamrah berkata,“Kata ‘Allah menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”

Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau,“Para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘Allah menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]

Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam,

<="" p="">

Artinya: “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).

Silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala, serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Arra’d 13:21).

Demikianlah sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita yang ingin melewatkan keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih yang Allah Ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim. Karenanya, orang-orang shalih dari pendahulu umat ini membiasakan diri menyambung silaturahim, walaupun sulit sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi, semestinya membuat kita lebih aktif melakukan silaturahim. Kemudahan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim. Mungkin salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang jauh untuk wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya yang masih satu kota dengannya -kalau tidak saya katakan satu daerah dengannya- padahal paling tidak hubungan tersebut dapat dilakukan dengan hanya mengucapkan salam. Apa beratnya mempergunakan telepon untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan mengucapkan salam kepadanya?

Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ

Artinya: “Sambunglah keluargamu meskipun dengan salam.” [Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi. Berkata Al Munawi dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua jalannya dha’if, akan tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]

Mungkin ada yang mengatakan, di antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah banyaknya kesibukan manusia pada hari ini dan keluasan wilayah. Tetapi orang yang memperhatikan keadaan semisal Abu Bakar dan Umar Al Faruq Radhiyallahu’anhuma . Pada masa pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul di pundak mereka dan belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi kerabatnya dan membantu tetangganya. Sedangkan diri kita sering mengunjugi dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat, tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk berkunjung ke salah satu kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.

Tampaknya sebab utama yang menghalangi kita bersilaturahim, karena buruknya pengaturan dan manajemen waktu. Atau karena kita kurang begitu mengerti besarnya dosa memutus silaturahim. Kemudian dengan kesibukan yang berlebihan dalam kehidupan dunia,. hingga kita mendapati seseorang bekerja pada pagi hari. Setelah itu menyibukkan diri dengan pekerjaan lain pada sisa harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam hal rizki. Lantas, mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan kerabatnya.

Maka sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat memanjangkan umurmu dengan bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya, niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya. [Untuk tambahan, lihat kitab Al Adab Asy Syar’iyyah Wal Minah Al Mur’iyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz 1 dan kitab Shilaturrahim Fadluha Ahkamuha Itsmu Qathi’iha, oleh Syaikh Muhammad Thabl dan Ibrahim Muhammad]

Mudah-mudahan risalah ini dapat mendorong kita semua untuk bersilaturahmi.

Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.


Selasa, 04 Desember 2012

Do’a Robithoh (Do’a Pengikat Hati)

Do’a Robithoh terdapat pada bagian akhir Al Ma’tsurat yang merupakan untaian do’a yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits, diperkenalkan oleh Hasan Al Banna dari thariqahnya.
Terjemahannya:

Ya Alloh, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa hati kami ini telah berkumpul karena cinta kepada-Mu, bertemu karena taat kepada-Mu, bersatu karena dakwah-Mu, dan saling mengikat janji untuk membela syariat-Mu. Karena itu, kuatkanlah ikatan kesatuannya, kekalkanlah kecintaanya, tunjukilah jalannya, penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup. Lapangkanlah dadanya dengan pancaran iman kepada-Mu dan tawakal yang baik kepada-Mu. Hidupkanlah ia dengan mengenal-Mu dan matikanlah dengan meraih syahadah di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pelindung dan penolong. Ya Alloh, kabulkanlah permohonan kami ini. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kami, Muhammad SAW, juga segenap keluarga dan sahabatnya.

Semoga ukhuwah Laskar Majelis Ta'lim Al-Kahfi ini akan berlangsung hingga akhir nanti….amin

Minggu, 25 November 2012


Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tahun ini kembali melaksanakan Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT ke-67 PGRI.

Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI

Hari Guru Nasional (HGN) diperingati pada tanggal 25 November setiap tahunnya, yang juga merupakan hari kelahiran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang diperingati secara bersama-sama. Sejumlah kegiatan direncanakan akan berlangsung baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebagai acuan dalam rangka penyelenggaraan peringatan Hari Guru Nasional tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Pengurus Besar PGRI telah menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI serta Pedoman Pelaksanaan Upacara Bendera Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI.

Adapun tema peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT ke-67 PGRI adalah "Memacu Professionalisasi Guru melalui Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik".

Berikut link untuk mengunduh Pedoman Pelaksanaan Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI serta Pedoman Pelaksanaan Upacara Bendera Hari Guru Nasional Tahun 2012 dan HUT Ke-67 PGRI.

1. PEDOMAN PELAKSANAAN HGN TAHUN 2012_FINAL ok.pdf
2. PEDOMAN UPACARA BENDERA HGN 2012_FINAL.pdf