“Marhaban ya Ramadhan 2012”, itulah ungkapan yang sering
terucap, tertulis bahkan terngiang dalam sanubari setiap muslim
menjelang tibanya bulan puasa. Ia bagaikan makhluk hidup yang bergerak
merangkak mendekati kita. Ia layaknya seorang idola yang dielu-elukan
dengan lambaian tangan dari kejauhan oleh para penggemarnya. Ramadhan
telah dipersonifikasi sedemikian rupa oleh kaum muslimin seolah menjadi
sosok makhluk yang hidup dan bergerak, sehingga dirasa begitu akrab
berharap agar selalu dapat bersua dengannya.
Dalam kehidupan sehari-sehari siapapun pasti merasa betah dan enjoy
bergaul dengan sahabat yang filantrofis (dermawan). Di kala susah dia
siap membantu, di saat senang pun akan menambah suasana lebih happy.
Ibarat manusia, Ramadhan juga hadir dengan sifat filantrofisnya. Betapa
tidak, kehadirannya begitu dirindukan siapapun, kebahagiannya memercik
ke manapun, keteduhannya menaungi tempat manapun.
Di bulan Ramadhan hampir semua lapisan masyarakat muslim –termasuk
sebagian masyarakat non muslim- merasa diuntungkan, mulai dari pedagang
asongan, karyawan, mahasiswa, konglomerat, ustadz sampai pejabat, semua
diuntungkan dengan kedatangan Ramadhan. Seorang mahasiswa, misalnya,
saat masuk bulan puasa, mulai bersuka cita karena ia sudah mengendus
aroma liburan panjang di akhir Ramadhan yang akan melepaskan segala
kepenatan mereka dalam menjalani tugas belajarnya. Seorang pegawai dan
karyawan segera melakukan kalkulasi berapa THR dan parcel yang akan
diterimanya. Tak ketinggalan pula, seorang anak jalanan siap mendapatkan
buka puasa gratis serta bingkisan lebaran dari para dermawan.
Barangkali hanya pengelola tempat-tempat diskotik dan tempat maksiat
lainnya yang merasa dirugikan lantaran jam operasinya dibatasi oleh
aparat sementara waktu. Hampir semua roda kehidupan masyarakat di bulan
Ramadhan mengalami eskalakasi dan akselerasi sesaat, baik aspek ekonomi,
sosial, spritual dan keamanan. Roda perekonomian jelas menggeliat
bangkit, para pelaku ekonomi, pembeli dan penjual, semua dimanjakan oleh
situasi itu. Lihat saja pasar mana yang tidak ramai dikerumuni
pengunjung, mulai pagi sampai malam hari. Coba hitung berapa rata-rata
kenaikan keuntungan para pedagang di pasar dan supermarket, lebih-lebih
pada tujuh hari menjelang hari raya.
Dari aspek pembeli, daya beli dan selera hidup masyarakat jelas naik,
inilah yang menjadi salah satu indikator menggeliatnya ekonomi
masyarakat. Pada sisi lain, sekat-sekat strata sosial dan kebekuan
komunikasi sebagai efek dari konflik kepentingan politik atau bisnis
sedikit demi sedikit mulai mencair. Si kaya berderma pada si miskin, si
pejabat mau menyapa kalangan miskin papa di lorong-lorong jembatan,
terlepas apapun motif di balik filantropi tersebut. Warga satu RW atau
bahkan satu desa jadi akrab, hati mereka tertautkan oleh ibadah tarawih
dan jamaah rawatib. Semua ibadah dilakukan dengan khusu’ tanpa ada
harubiru dari media faktual dan virtual yang memang sudah terkondisikan
untuk ikut khusu’ dan (sok) islami. Statemen-statemen politisi yang
biasanya membingungkan kini juga ikut “berpuasa” sementara waktu.
Dampak positif dari membaiknya kondisi ekonomi dan sosial, akan
merekatkan interaksi antar masyarakat dan tentunya akan mempersolid
stabilitas keamanan lingkungan sekeliling. Keamanan lingkungan ini
sangat dipengaruhi oleh rapatnya solidaritas sosial yang
termanifestasikan dalam sikap saling tegur sapa, empati dan simpati.
Kondisi ini pasti akan menguntungkan lingkungan setempat dalam scope kecil, dan negara dalam scope luas, sehingga tercipta ketenteraman dan kedamaian di tengah-tengah masyarakat.
Namun, semua itu barulah filantropi yang terpancar dari Ramadhan,
lalu filantropi apa yang akan kita persembahkan untuk Ramadhan tercinta
ini? Akankah dengan banyaknya fasilitas Ramadhan tersebut, kita mampu
menaikkan derajat kesalehan kita di hadapan Allah swt, ataukah malah
justru akan menjerumuskan kita sendiri pada kehinaan? Orang bisa saja
dengan alasan kerja berat tidak mau memanfaatkan keberkahan bulan
Ramadhan, yang penting buat dia mendapatkan aksesoris Ramadhan, seperi
punya baju baru, bisa mudik. Segala aksesoris filantropi Ramadhan jangan
sampai menutupi subtansi Ramadhan yang hakiki.
Indahnya panorama pasar malam di mal-mal dan supermarket jangan malah
membelokkan hati kita untuk berpaling melakukan ibadah. Nikmatnya
bagi-bagi THR seyogyanya ditopang dengan ikhlasnya berbagi dengan
sesama. Volume kerja yang berkurang saat Ramdhan hendaknya juga
diimbangi dengan produktifitas dan kualitas kerja yang signifikan.
Filantropi subtansial dari Ramadhan bagi seorang muslim, tercermin
dalam banyaknya ritual ibadah yang tergolong berat, ternyata mampu
dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin. Sebagai contoh, di luar bulan
Ramadhan begitu sulitnya bangun di tengah malam untuk santap sahur atau qiyamul lail bagi
kebanyakan orang, namun saat ia tiba, hal itu berubah menjadi ringan
dan mudah. Demikian juga dengan bersedekah, menahan makan minum
seharian, menahan nafsu seksual begitu mudah untuk dilaksanakan.
Permasalahan sekarang yang muncul, akankah filantropi tersebut
dimanfaatkan secara konsumtif atau produktif? Sebagai ilustrasi, ketika
seseorang, misalnya, menerima hibah seratus juta lalu uang tersebut
dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif seperti makanan, perabot
rumah, aksesoris, tidak mustahil dalam kurun waktu tiga bulanan saja
akan habis. Lain halnya, bila uang tersebut dibelanjakan secara
produktif dengan membeli mesin fotokopi atau sejenisnya untuk buka usaha
yang menghasilkan uang. Dalam rentang waktu lima tahun sekalipun, uang
itu besar kemungkinan tidak habis atau bahkan bertambah.
Pemanfaatan filantrofi Ramadhan secara konsumtif akan menjebak kita
pada sebuah rutinitas ibadah yang sia-sia. Tujuan utama dari puasa
adalah membentuk kepribadian muslim yang taqwa (QS.2:183). Taqwa tidak
dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu, ia menjadi baju kebanggan setiap
muslim yang selalu terpakai di manapun dan kapanpun. Allah swt lewat
Ramadhan telah memberikan segala kemudahan dan gairah ibadah yang luar
biasa, masa yang singkat tersebut haruslah dijadikan trigger (pemicu)
untuk peningkatan ibadah sepanjang hayat, sehingga ia menjadi
produktif. Indikatornya, pasca Ramadhan masjid dan mushalla tetap ramai,
puasa sunnah dan qiyamul lail tetap dijalankan. Bersedekah
menjadi hobi kita sebaliknya menggibah menjadi pantangan/musuh kita.
Dalam bahasa Kang Jalal (Dr. Djalaludin Rakhmat) puasa berfungsi sebagai
madrasah ruhaniyyah, sekolah pencerahan spiritual kita. Jadi
parameternya jelas, spiritualitas kita meningkat atau menurun akan
sangat tergantung dari sejauh mana kesungguhan kita bersekolah di
madrasah yang bernama “Ramadhan” ini.
Idealnya, setelah idul fitri ketaqwaan kita meningkat, kualitas hidup
kita juga semakin baik, bukan malah terjadi antiklimaks. Setelah idul
fitri, sangatlah keliru jika diucapkan: ma’as salamah ya Ramadhan (Godbye, selamat tinggal Ramadhan). Semestinya: ma’as salamah ya ma’ashi (selamat tinggal segala kemaksiatan) atau marhaban ya ramadhan ad-dahr (selamat datang ramadhan sepanjang masa).