Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Totalitas Berkarya Bersama Dakwah

Majelis Taklim Al-Kahfi

Rabu, 03 November 2010

Paradigma Dakwah Kampus “Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan ada goal dan resikonya. Jalani hidupmu dan hadapi resikonya”.


Dakwah adalah salah satu pilihan hidup. Setiap orang dapat memilih untuk hidup bersamanya atau dibersamainya atau bahkan jauh darinya.
Konsekuensi dari seseorang memilih jalan dakwah sudah barang tentu Allah akan memberikan syurga yang nikmatnya tiada terkira, selama apa yang dia lakukan berawal dengan niat yang baik, dengan cara yang baik pula ia lakukan. Karena dakwah itu agung, pekerjaan yang mulia. Ia adalah jalan hidup yang dipilih oleh kekasih Allah, para Rasul dan para sahabat. Akan tetapi dalam track perjalanannya, tentunya tidak semulus yang dibayangkan.
Dakwah itu panjang, dakwah itu berliku dan penuh dengan onak duri. Kadang seseorang mendapat kesenangan didalamnya, tapi sering kali mendapatkan kepahitan bersamanya. Kenapa dakwah itu pahit, karena syurga itu manis. Ya.. Itulah pilihan hidup. Jalani hidupmu dan hadapi resikonya. Semua ada goalnya masing-masing kawan, dan dakwah akan bermuara kepada syurga bagi para penggiatnya.
Dakwah kampus adalah salah satu bagian dari serentetan dakwah yang ada di bumi illahi. Disana ada sifat dan karakter yang khas, dinamika kehidupan kampus pun yang turut mewarnainya.
Dalam dakwah kampus diperlukan sepak terjang yang integralistik, dari segala lini yang ada agar dakwah itu sendiri semakin menyebar luas menggapai pojok-pojok kehidupan kampus. Sehingga perlu adanya kerja penggarapan yang meluas pula, meliputi : kerja dakwah, kerja politik, kerja ilmu/akademis, kerja kemasyarakatan, kerja ekonomi, kerja media opini, kerja pelayanan dan kerja organisasi.
Kesemuanya saling menopang dan menguatkan demi satu tujuan, yakni dakwah itu sendiri. Setiap kader mestilah memahami bahwa dakwah itu integralistik, ada pembagian dan fokusan kerja masing-masing, bukan berjalan secara parsial.
Aktifis dakwah kampus harus melakukan harmonisasi sebagai upaya mengoptimalkan potensi masing-masing lini dakwah dan mengefektifkan sinergi antar lembaga. Harmonisasi mencakup pembagian atau kerjasama peran, bidang garap, isu, objek dakwah dan hal-hal lain sehingga tercegah akan terjadinya tumpang tindih, kesenjangan apalagi saling memperlemah antar elemen dakwah kampus.
Menilik perkembangan dakwah kampus yang ada sekarang ini semakin pesat, maka diperlukan adanya managemen yang baik untuk mengelolanya. Saat ini dakwah kampus sedang mencari format gerakan yang “link and match” guna menjawab permasalahan dakwah kampus yang aktual di lapangan. Ini adalah suatu keniscayaan, suatu proses pencapaian pendewasaan gerak dan aktualisasi diri.
Kenyataan yang terjadi, dakwah kampus dewasa ini tampak seolah-olah besar, padahal dibalik kebesarannya terpendam tiga permasalahan yang cukup mendasar, yaitu : permasalahan kader (SDM) struktur serta kultur budaya. Diantara ketiganya memiliki keterikatan yang sungguh erat. SDM sebagai subjek dan juga objek dakwah akan membentuk struktur.
Selanjutnya dari struktur tersebut yang ada akan membentuk kultur. Jadi jika terjadi permasalahan pada SDM maka muaranya adalah terbentuknya kultur yang tidak nyaman serta tidak produktif baik secara internal maupun eksternal.
Dalam proses dakwah, salah satu perangkat yang vital adalah kader dakwah itu sendiri karena merekalah yang akan aktif menyerukan kalimat-kalimat Illhi. Dalam dakwah kampus, kebanyakan sumber permasalahan berasal dari kondisi kader baik itu secara kuantitas maupun kualitas. Oleh karenanya diperlukan adanya solusi atas permasalahan tersebut. Yakni pendataan dan penyiapan infrastruktur kaderisasi, massifikasi rekrutmen, ri’ayah (penjagaan) dan tarqiyah kader (peningkatan kafa’ah), penataan dan pengkaryaan kader, kontrol dan monitoring serta evaluasi secara periodik.
Dakwah kampus sekarang sudah semestinya memiliki sistim berpikir yang lebih strategis, fokus terhadap bidang garap yang telah ditetapkan diawal. Sehingga bidang garap tidak melebar kemana-mana tanpa ada fokusan yang hendak dicapai, hingga pada akhirnya tak ada satupun yang bisa diraih secara utuh.
Dengan berpikir strategis dan fokus maka dakwah kampus akan mencapai kata efektif dan efisien. Efektif berarti tepat guna, efisien berarti hemat daya. Dua kata yang sangat mungkin untuk diterapkan. Efektif disini lebih prioritas dari pada efisien, karena bagaimanapun juga tepat guna itu lebih urgen dari pada hanya sekedar hemat daya tetapi apa yang dilakukan jauh dari tujuan awal.
Lagi-lagi hal yang sangat menentukan sukses tidaknya dakwah adalah tahap perencanaan. Sehingga kerja dakwah tidak bersifat reaksioner belaka. Ibarat pemadam kebakaran yang akan bekerja ketika ada kebakatan saja. Secara garis besar terdapat empat langkah dasar perencanaan, yaitu : tahap analisis, menentukan tujuan dan strategi, menyusun langkah-langkah untuk mencapai tujuan dan yang terakhir adalah melakukan proses control dan monitoring.
Banyak pernyataan tokoh yang mendukung betapa pentingnya perencanaan. Seperti “Jika engkau galal merencanakan maka sejatinya engkau merencanakan kegagalan”, “kebaikan yang tidak teroganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir” juga “jika kau naik panggung tanpa persiapan maka kau akan turun panggung tanpa penghormatan”. Akhirnya, perencanaan yang baik dengan sistem kontrol dan monitoring yang baik pula akan membawa kepada efektifitas dan efisiensi dalam gerak.(eramuslim.red)

Kepala Intelijen Mesir Ke Israel



Menurutnya, ada potensi aksi kekerasan sebagai dampak buntunya perundingan dengan Palestina

Hidayatullah.com--Kepala Intelijen Mesir Omer Suleiman rencananya tiba hari Kamis ini (4/11) di Israel guna memecah kebuntuan perundingan antara Palestina dan Israel, demikian laporan beragai media sebagaimana dilansir Maan.

Suleiman akan bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Ehud Barak.

Suleiman dikabarkan akan menyampaikan kepada para pejabat Israel mengenai kerusuhan atau aksi kekerasan yang mungkin terjadi sebagai dampak dari terhentinya perundingan dengan Palestina. Rencana kedatangan Suleiman pertama kali dikabarkan oleh Media Israel pada hari Senin lalu.

Pekan kemarin Suleiman mengunjungi Ramallah bersama dengan Menlu Mesir Ahmed Aboul Gheit. Mereka bertemu para pemimpin Palestina dan membahas pembaruan kembali dialog antara Hamas dan Fatah.

Sumber-sumber Palestina mengatakan kepada media Israel Ynet bahwa Mesir mendukung prinsip Ototrita Palestina yang bersikukuh tidak akan melanjutkan perundingan selama Israel tidak menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi.

Hari Senin, pemimpin perunding PLO Saeb Erekat kepada Maan mengatakan bahwa Mesir sedang berupaya meminta PBB untuk mengakui negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza, sebagai upaya mencairkan kebuntuan yang ada.[di/maan/hidayatullah.com]

Selasa, 02 November 2010

Sederhana, Pilihan Hidup Mulia

Pola hidup sederhana seakan menjadi barang langkah yang hanya ada dalam cerita atau dongeng di pojok-pojok surau  

oleh: Ali Akbar bin Aqil*

Pada suatu sore, ketika Rasulullah SAW selesai menunaikan shalat Ashar bersama para sahabatnya, ada peristiwa aneh. Yaitu setelah rampung shalat, tiba-tiba Rasulullah bangkit dengan tergesa-gesa meninggalkan jamaah menuju rumahnya dan kembali lagi dengan membawa makanan lalu dibagi-bagikan kepada para jamaahnya yang ada.

Kemudian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ada apa gerangan tiba-tiba anda beranjak dari jamaah lalu kembali membagi-bagikan makanan?.” Apa jawab sang baginda?, “Aku tidak ingin apabila matahari tenggelam sementara di rumahku masih ada sisa makanan.” (HR. Bukhari)

Rasululah adalah manusia yang paling zuhud yang terpancar dalam potret hidupnya yang sederhana dan penuh kebersahajaan. Ilustrasi di atas cukup menjadi acuan akan kesederhanannya. Beliau tidak pernah menyisakan atau menyimpan makanan di rumahnya.

Pola hidup sederhana yang beliau jalani bukan karena kepapaannya. Tidak! Tetapi beliau memilih demikian sebagai teladan ideal bagi umatnya agar dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia tidak menjadikan harta sebagai tujuan utama.

Tersebutlah suatu riwayat yang menyatkan bahwa jika beliau berkenan, Allah menawarkan batu-batuan di kota Makkah menjadi taburan emas sebagai pembendaharaan baginda. Namun apa yang terjadi berikutnya? Beliau justru menjawab dengan rendah hati, “Tidak, wahai Tuhan. Tapi (biarkan) aku lapar sehari dankenyang sehari. Jika aku sedang kenyang, maka aku akan memuji-Mu, dan di saat lapar aku akan bersimpuh dan berdoa kepamau.”[ Muhammad Alwi Al Maliki, Muhammad al Insan Al Kamil, (Jeddah: Daar Asy Syuruq, 1411), cet. IV. hal. 156.]

Yang menarik adalah bahwa Rasulullah seorang pemimpin. Dengan posisi dan kedudukannya yang strategis itu, sebenarnya beliau mampu untuk memiliki fasilitas-fasilitas yang dimauinya. Terlebih kedudukan yang “wah” berpotensi menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Tetapi semua itu tidak beliau lakukan dan lebih memprioritaskan pola hidup sederhana. Inilah sebenarnya sosok seorang pemimpin yang menjadi patron umat.

Hidup Gaul atau Hidup Sederhana?

Ada yang menarik di seputar lingkungan kita terkait tema kesederhanaan. Yakni pola hidup sederhana seakan menjadi barang langkah yang hanya ada dalam cerita atau dongeng di pojok-pojok surau atau jerambah masjid (baca: Asatirul Awwalin).

Term kesederhanaan kerap dipersepsikan sebagai kemiskinan dan ketidak-gaulan. Karenanya tren kesederhanaan, seolah sudah tidak relevan untuk diperbincangkan apalagi dijadikan amaliyah di era moderen.

Di sisi lain, seiring dengan semakin tenggelamnya nilai-nilai kesederhanaan yang disertai pudarnya ajaran cinta kasih kepada sesama, maka bermunculan tren baru, yaitu pola hidup hedonis, glamour, elit, keren abis, gaul, yang semuanya muncul akibat ketamakan. Hal ini terjadi mulai dari lapisan masyarakat yang kebetulan “kaya” sampai yang terpaksa “miskin”.

Untuk lapisan pertama, pola hidup glamour dan hedon (mewah) masih memilki ruang dan daya tawar. Sebab mereka mempunyai sarana dan segudang fasilitas harta yang dimilikinya, kendati semua itu bukan sesuatu yang laik dan terpuji.

Namun, untuk lapisan berikutnya, yang terpaksa “miskin”, mereka dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama, jika tetap dengan penampilan “miskin”, takut disebut kurang  gaul. Pilihan kedua, kalau mau gaul modalnya apa? Baik pilihan pertama atau kedua sama-sama mengerikan jika orang tersebut tidak mendapatkan hidayah Allah. Karena mereka akan terseret oleh arus yang menjerumuskannya pada perbuatan nista demi meraih identitas semu yaitu  seperti “orang kaya”.

Lebih dari itu, di kalangan kaum terpelajar –tak terkecuali kaum santri- juga sudah menjamur pola hidup yang sering diistilahkan “gaul abis”. Para pelajar yang sebagian besar masih disubsidi oleh orangtua tersebut juga terjangkit virus kronis ini. Mereka bangga bila mampu menunjukkan atribut atau aksesoris “gaul”.

Ironisnya, kebanggaan itu tidak dibarengi dengan perilaku yang mencerminkan rasa syukur atas segala yang telah dimilikinya. Bahkan, kerapkali dijadikan jembatan untuk berbuat kufur dan maksiat kepada Allah yang Maha Pemberi!

Jika demikian, maka sadarilah bahwa kita telah terjebak dalam tipuan dunia yang menyebabkan kita tidak terhormat dunia-akhirat. Betapa tidak, di satu sisi kita mengkufuri nikmat Allah yang telah kita terima. Di sisi lain, kita telah mengkhianati amanah orangtua atau siapa saja yang telah mensubsidi kita dengan penuh husnudzan.

Secara tidak sadar kita telah melukai perasaan orang-orang di sekitar kita yang terpaksa “miskin” dan tidak pernah merasakan nikmatnya aksesoris atau atribut “gaul”, padahal mereka juga mempunyai selera sama.

Untuk itulah, solusinya adalah mari membiasakan diri hidup sederhana. Qona`ah bisa menjadi hal solutif. Qona`ah ialah sifat menerima apa adanya. Ia merupakan harta yang tidak pernah sirna.

Imam Al Ghazali memberi kiat-kiat agar kita memiliki sifat qona`ah,

Pertama, kesederhanaan dalam penghidupan dan pembelanjaan. Di dalam hadits disebutkan, “Pengaturan adalah separo dari penghidupan.”

Kedua, pendek angan-angan. Sehingga ia tidak bergelut dengan kebutuhan-kebutuhan sekunder.

Ketiga, hendaklah ia mengetahui apa yang dikandung di dalam sifat qona`ah berupa kemuliaan dan terhindar dari meminta-minta serta mengetahui kehinaan dan ketamakan.

Maka dengan cara ini, lanjut Al Ghazali, insya Allah ia akan bebas dari ketamakan.[ Al Ghazali, Mutiara Ihya `Ulumuddin, (terj.) Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2003), cet. XV, hlm. 265.]

Ingatlah, semua adalah titipan Allah, bukan milik manusia hakiki. Dan semuanya akan kembali pada-Nya yang tentunya dengan LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban)-nya masing-masing.

Sebagai penutup, cukuplah sebuah riwayat bahwa Rasulullah senantisa tidur di atas tikar, sehingga tampak membekas di pipi sang baginda yang mulia.

Apabila “Insan Kamil” itu yang kemuliannya meliputi alam semesta hanya memilih untuk menikmati hidupnya dengan penuh kesederhanaan, lalu siapakah kita, jika dibanding Rasulullah?[hidayatullah.com]

Penulis adalah Pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang. Email: al_akbar84@yahoo.co.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it . Dimuat www.hidayatullah.com

Enam Taubatnya Anggota Tubuh


oleh: Ali Akbar bin Agil*

MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana mahkota dalam jiwa.

Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji. “Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.

Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Ada segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, jangan memulai berbuat maksiat. Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu suit bagimu meninggalkannya.”

Sekecil apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat tersebut.

Kedua, menjernihkan hati. Hati yang jernih membuat kita lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras keinginan.

Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: (1) Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur (2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki bekal (3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”
Kejernihan hati menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya, kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri, membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu arah.

Ketiga
, bertaubat. Tidak ada manusia suci selain para Nabi dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah. Inilah cara ketiga.

Taubat dari segala tindak tanduk maksiat, mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia ada ‘jatah’ taubatnya:  (1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan hal-hal yang dilarang (2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram (3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan penggunaan sesuatu yang bukan haknya (4) Taubatnya kedua kaki dengan meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat lalai kepada Allah (5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan (6) Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”

Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga.

Penulis adalah Pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang. Email: al_akbar84@yahoo.co.id

Bentuk Pasir Setelah diPerbesar 110X

Pasir adalah sebuah bentuk seni itu sendiri. pasir tampaknya seperti segerombolan batu kecil berwarna coklat, mungkin dibumbui dengan hancuran kulit kerang. Tapi pasir memiliki cerita jauh lebih menarik untuk diceritakan.

Terdiri dari sisa-sisa ledakan gunung berapi, mengikis pegunungan, organisme mati, dan bahkan struktur buatan, pasir dapat mengungkap sejarah-baik biologi dan geologi-lingkungan lokal. Seorang ilmuwan Gary Greenberg meneliti pasir lebih dalam, ternyata pasir dapat mengungkapkan warna yg spektakuler dari segi bentuk maupun tekturnya.

Berikut ini photo2 pasir dalam bentuk 3D oleh Greenberg dgn menggunakan Mikroskop Edge 3D (pembesaran 110x), kumpulan butiran pasir dari belahan dunia
















Awas Demam Riya!

Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Sulit membedakan ibadah jaman sekarang yang tidak bercampur riak. Suatu ketika, di yaumil akhir, berlangsung pengadilan terhadap tiga orang laki-laki. Yang pertama kali diadili adalah orang yang gugur sebagai syahid. Ia kemudian dipanggil oleh Allah. Kepadanya kemudian diperlihatkan amal perbuatannya. Ia pun mengakui perbuatannya ketika berperang membela agama hingga akhirnya gugur sebagai syahid.

Kemudian Allah bertanya: “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkannya (mati syahid).”

“Aku berperang demi (mendapat) ridha-Mu hingga aku gugur di medan jihad,” jawab lelaki itu.

“Kamu berdusta,” sergah Allah.

“Kamu berperang agar dikatakan pemberani dan sungguh kamu telah mendapatkannya,” sambung Allah lagi.

Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.

Selanjutnya Allah memanggil orang yang kedua, yakni seorang lelaki yang tekun menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ia juga rajin membaca al-Qur’an. Seperti yang pertama, ia pun diperlihatkan amal perbuatannya. Setelah ia mengenalinya, Allah bertanya: “Apa yang telah kamu perbuat dengannya (menuntut ilmu)?”

“Saya menuntut ilmu, mengajarkannya kepada yang lain dan membaca al-Qur’an demi Engkau, ya Allah,” jawab lelaki itu.

“Kamu berdusta!” kata Allah berfirman.
“Kamu menuntut ilmu agar dibilang orang pandai dan kamu membaca al-Qur’an agar dikatakan sebagai qori yang bagus (bacaannya), dan sungguh kamu telah memperolehnya,” ungkap Allah.

Kemudian Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.

Berikutnya Allah mengadili orang yang ketiga yakni seorang lelaki yang dilapangkan dan dikaruniai Allah kekayaan yang melimpah. Kepadanya diperlihatkan amal perbuatannya. Iapun mengenalinya. Lalu Allah bertanya: “Apa yang kamu perbuat terhadap harta bendamu?”

Lelaki itu menjawab: “Saya tak pernah melewatkan kesempatan menafkahkan harta benda di jalan-Mu dan itu saya perbuat demi Engkau, wahai Tuhanku”. Allah berfirman: “Kamu berdusta! Kamu tidak melakukan itu semua kecuali dengan pamrih agar kamu dibilang sebagai dermawan. Dan kamu telah mendapatkan semua yang kamu inginkan."

Selanjutnya Allah memerintahkan agar orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka.


Niat yang Menentukan

Amal baik belum tentu bernilai baik sebelum diketahui niatnya. Bisa saja manusia memberi gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki keberanian dan tanggung jawab yang besar dalam membela agama dan negaranya, akan tetapi Allah yang Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi. Maka Allah jualah yang akan memberikan penilain-Nya tersendiri. Allah tidak menilai seseorang dari yang zhahirnya saja, tapi juga dari yang tersembunyi yaitu niat atau motivasinya.
Bisa jadi seseorang dihormati karena kedalaman ilmu dan keluasan wawasannya. Tapi di sisi Allah, seorang ulama baru dianggap bernilai bila ia ikhlas dalam mencari ilmu dan tulus ketika mengajarkan dan menyebarluaskannya. Ketika ada motivasi lain, sekecil apapun, pasti terdeteksi oleh ke-Mahatahuan-Nya. Allah berfirman:

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan jika kamu menampakkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 284)

Demikian pula halnya dengan orang kaya yang dermawan, belum tentu kedermawanannya berkenan di hadapan Allah. Boleh jadi kemurahannya dalam memberi digerakkan oleh niat-niat tertentu yang dapat merusak pahala sadaqahnya. Orang-orang yang menerima sumbangannya tidak mengetahui niat orang tersebut, tapi Allah saw selalui memonitor gerak hati seseorang. Dia menilai tidak sekadar dari lahirnya, tapi lebih penting lagi adalah niatnya. Itulah sebabnya, niat dalam ajaran Islam menempati posisi sentral dan sangat menentukan. Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan sesungguhnya tiap tiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah karena ingin memperoleh keduniaan atau untuk mengawini seorang wanita, maka hijrahnya adalah kea rah yang ditujunya tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah di atas dilatarbelakangi oleh pengaduan seseorang yang menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang hijrah ke Madinah menyusul hijrahnya Rasulullah saw ada seseorang yang berhijrah karena ingin mengawini seorang wanita yang bernama Ummu Qais. Pada mulanya lelaki itu ingin tetap tinggal di Makkah, akan tetapi karena Ummu Qais yang hendak dinikahinya mengajukan syarat bahwa ia mau dinikahi jika lelaki itu hijrah ke Madinah, maka akhirnya sang lelaki itu terpaksa turut hijrah demi kekasihnya.

Dalam kehidupan sehari-hari ada contoh yang sederhana. Di siang hari yang panas, seorang lelaki masuk ke mesjid. Secara lahiriyah perbuatan itu sangat terpuji. Akan tetapi siapa tahu niat yang tersembunyi dalam hatinya. Bisa jadi ia masuk ke mesjid dengan niat untuk istirahat. Jika niatnya seperti itu, maka ia akan memperoleh yang diniatkannya. Ia terhindar dari sengatan matahari dan terlepas dari rasa penat. Lain halnya jika ia meniatkan untuk i’tikaf. Boleh jadi ia mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala sekaligus istirahat yang cukup.

Dalam kenyataannya, banyak sekali perbuatan manusia yang motivasinya campur aduk antara ikhlas dan riya’. Misalnya, orang yang menunaikan ibadah haji seringkali niatnya tidak semata-mata untuk ibadah, tapi jauh sebelum keberangkatannya mereka sudah membuat rencana untuk membeli perhiasan, makanan, pakaian dan oleh-oleh lainnya untuk disebarkan kepada kerabatnya di tanah air.

Demikian pula halnya dengan orang yang menuntut ilmu, banyak yang niatnya tidak untuk memperoleh ridha Allah, tapi agar kelak dihormati dan disanjung masyarakat sebagai orang yang berilmu. Atau agar kelak mendapat pekerjaan yang baik, pangkat dan jabatan mentereng serta berkuasa di tengah masyarakatnya.

Seseorang yang shalat malam (tahajjud) mungkin saja niatnya murni, semata-mata ingin bertaqarrub dengan Allah swt. Akan tetapi ada pula seseorang yang menjalankan shalat malam karena niat 'daripada tidak bisa tidur' atau karena dia sedang berjaga, daripada bengong.

Secara syar’i, ibadahnya orang yang disebutkan di atas tetap sah dan tidak batal, akan tetapi kurang afdol. Ibadahnya sah, tapi kurang sempurna karena beribadah kepada Allah menuntut adanya kemurnian niat (ikhlas) semata-mata karena Allah. Al-Qur’an menandaskan:

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka kecuali supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 2-3)

Riya’ merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari demam berdarah atau aids sekalipun. Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat khawatir dengan penyakit ini. Beliau takut ummatnya terjerumus pada penyakit yang beliau sebut sebagai syirik yang tersamar itu. Beliau bersabda:
"Sesungguhnya yang saya takuti menimpa atas kamu ialah syirik kecil (syirkul ashghar). Para sahabat bertanya, 'apakah yang dimaksud dengan syirik kecil itu, ya Rasulallah?' Nabi menjawab: 'Riya’, (yakni) ketika manusia datang untuk meminta balasan atas amal perbuatan yang mereka lakukan. Maka Tuhan berkata kepada mereka : 'Pergilah kamu menemui orang-orang yang karena mereka kamu beramal (riya') di dunia niscaya kamu akan sadar apakah kamu memperoleh balasan kebaikan dari mereka?”.

Hidayatullah.com

Minggu, 31 Oktober 2010

Ketahui Penyakit Otak Lewat Hidung

Informasi ganguan pada otak terekam dalam sel punca hidung seseorang 

Hidayatullah.com --Sel punca olfactory yang diambil dari hidung pasien, dapat memberikan informasi penting tentang gangguan pada otak seperti schizophrenia.

Tim peneliti dari Universitas Griffith berhasil mengembangkan tehnik baru untuk mengetahui penyakit otak yang diderita pasien lewat sel punca hidungnya. 

Alan Mackay-Sim dari National Center for Adult Stem Cell Research di Universitas Griffith menyebutnya sebagai sebuah tonggak prestasi, karena sulit untuk mengetahui penyakit otak dengan cara mengambil sampel sel punca otak pasien. Kesulitan itu menyebabkan perkembangan pengobatan untuk penyakit otak terhambat. 

Menurut jurnal Disease Models and Mechanism, sel punca olfactory memiliki banyak keunggulan dibanding sel punca lain untuk mencari petunjuk tentang penyakit otak. 

"Sel itu bisa didapat dari hidung pasien lewat biopsi sederhana dan selnya memberikan informasi penting tentang perkembangan dan penyakit degeneratif otak," lapor jurnal tersebut. 

"Untuk masalah penyakit otak, para peneliti (selama ini) mengandalkan sel yang diambil dari bagian tubuh lain yang memberikan gambaran kurang penting tentang penyakit otak, serta sel dari sampel otak pascakematian yang jumlahnya terbatas dan hanya memberikan informasi akhir penyakit saja." 

Tim peneliti Mackay-Sim mengambil sel punca olfactory dari pasien penderita schizophrenia dan Parkinson lalu membandingkannya dengan sel punca milik orang sehat. 

Dari perbandingan itu akan terlihat perbedaan khusus dalam gen, protein dan fungsi sel pada pasien penderita penyakit otak. Informsasi tentang kondisi syaraf juga bisa diketahui dari sana, sehingga bisa digunakan untuk pengembangan obat baru. 

Schizophrenia adalah penyakit mental seumur hidup yang diderita oleh 1% orang di dunia, sementara Parkinson adalah penyakit degeneratif syaraf yang diderita oleh 0,1% warga dunia.[di/klj/ hidayatullah.com]

Nevertirees: Orang-Orang yang Tidak Mengenal Pensiun!

Doa untuk mati di puncak pencapaian pernah dicontohkan di al-Qu’ran. Yakni kisah Nabi Yusuf Alaihi Salam
Oleh: Muhaimin Iqbal* 
Hidayatullah.com--Di periode terakhir saya menjabat sebagai Presiden Direktur sebuah perusahaan publik, Komisaris Utama saya adalah seorang pengusaha pejuang yang berusia 86 tahun. Beliau tetap memimpin RUPS perusahaan kami, sampai benar-benar usia dan kesehatan tidak memungkinkan dan wafat setahun kemudian. Saya mengenal langsung tokoh ini pertama kalinya awal 90-an ketika saya menjadi moderator dalam suatu seminar perkapalan internasional dan beliau sebagai salah satu narasumber-nya.
Di puncak krisis Indonesia tahun 1998 sebagai direksi saya juga memiliki Komisaris Utama seorang pengusaha pejuang lainnya yang berusia 80 tahun. Dari tokoh-tokoh pengusaha tiga zaman tersebut:  Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, inilah saya beruntung bisa belajar banyak tentang wisdom dalam berusaha.
Sebelum dunia mengenal istilah social business yang baru muncul belakangan, para tokoh pengusaha pejuang tersebut mendirikan berbagai perusahaan bank, asuransi, perkapalan, obat, distribusi dlsb. di dasawarsa pertama kemerdekaan RI. Targetnya saat itu bukan untung – melainkan mengisi kemerdekaan agar tidak tergantung pada perusahaan-perusahaan eks penjajah yang masih eksis sampai beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
Niat berusaha yang luhur demikianlah yang mendorong mereka tetap mampu berkarya secara maksimal sampai usia yang sangat lanjut. Salah satu tokoh yang saya sebutkan tersebut, bahkan tetap mampu bekerja maksimal 30 tahun setelah serangan jantung yang mengenainya di usia 50-an tahun.
Berbeda dengan motif untuk tetap berkarya dari dua tokoh yang saya sebutkan di atas,  masyarakat pekerja yang hidup di zaman yang semakin kompetitif dan biaya hidup yang semakin mahal sekarang ini juga terdorong untuk bekerja – atau kadang terpaksa tetap bekerja - sampai usia lanjut. Maka muncullah sekarang apa yang disebut generasi nevertirees, yaitu generasi orang-orang yang tidak mau menyerah pensiun meskipun usia-nya sudah lanjut.
Nah sekarang bagaimana Anda bisa menyiapkan diri agar bisa memasuki usia nevertirees Anda kelak dengan dignity (gagah, terhormat, percaya diri...).
Berikut adalah beberapa poin yang perlu Anda persiapkan.
Pertama, jangan biarkan tabungan hasil jerih payah Anda selagi muda tergerus oleh inflasi sehingga menjadi tidak bernilai ketika Anda butuhkan di usia nevertirees. Investasi-lah sejak muda...!
Kedua, tekuni suatu minat, hobi atau kegemaran yang Anda nikmati dalam menggelutinya, namun juga berpeluang untuk menjadi ‘produksi’ bagi Anda dan bukannya ‘konsumsi’.
Ketiga, bangun kompetensi Anda di bidang yang Anda nikmati tersebut, sampai sedemikian rupa sehingga Anda bisa menjadi tokoh atau referensi di bidang tersebut. Dua tokoh yang saya ceritakan tersebut di atas, keduanya tokoh yang sangat terkenal di bidangnya masing-masing, yaitu perkapalan dan perbankan.
Keempat,  bangun jaringan dengan orang-orang yang berkompeten di bidang yang Anda minati, agar Anda bisa saling mengisi dan menyempurnakan.
Kelima, akumulasikan pengetahuan dan pengalaman Anda dan berkaryalah dengan kekuatan (akumulasi pengetahuan dan pengalaman) Anda tersebut.
Keenam, selain investasi pada diri Anda sendiri, investasilah pada orang-orang sekitar Anda yang bisa benar-benar Anda percayai. Mereka ini akan menjadi andalan Anda, ketika fisik Anda tidak memungkinkan untuk melanjutkan karya Anda.
Ketujuh, buatlah surat wasiat yang jelas dan adil untuk memudahkan ahli waris dan orang-orang kepercayaan Anda agar dapat melanjutkan karya-karya yang Anda hasilkan.
Mati di Puncak Pencapaian
Dalam Islam bekerja secara maksimal ini  diajarkan dalam rangkaian doa yang tergabung dalam doa khatam al-Qur’an. “....Allhummaj’al khaira ‘umry aakhirahu wa khaira ‘amaly  khawaatimahu wa khaira ayyaami yauma alqooka fiih” yang artinya , “Ya Allah jadikanlah yang terbaik dari umurku adalah akhirnya, dan yang terbaik dari amal perbuatanku adalah penutupnya, dan  yang terbaik dari hariku  adalah hari ketika aku bertemu denganMu...”
Doa untuk mati di puncak pencapaian ini juga dicontohkan di al-Qu’ran. Ketika Nabi Yusuf Alaihi Salam sudah menjadi raja dan sudah dipertemukan dengan kedua orangtuanya yang terpisah sejak kecil, dia pun memohon: “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian takbir mimpi. (Ya Tuhan). Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS 12:101)
Bahwasanya doa tersebut dipanjatkan ketika Nabi Yusuf Alaihi Salam di puncak pencapaian - bukannya ketika dia lagi difitnah dan dipenjara – ini menjadi pelajaran tersendiri bagi kita, yaitu untuk mencapai akhir hayat yang terbaik.
Semoga Allah memudahkan kita untuk amal yang diridloiNya.
Penulis adalah Direktur GeraiDinar dan kolumnis www.hidayatullah.com

Tidur Awal dan Bangun Awal

Beraktifitas hingga tengah malam atau bahkan hingga terbit fajar adalah praktek melawan sunatullah, kecuali mereka melakukan tugas penting

Oleh: Mustofa*

 “Early to bed and early to rise makes a man healthy, wealthy and wise.” (Tidur awal dan bangun awal membuat seseorang sehat, sejahtera dan bijaksana), demikian kata-kata mutiara yang mengandung hikmah dalam bahasa Inggris menyebutkan.

Segera tidur di permulaan malam dan segera bangun tidur sebelum fajar adalah pola hidup Islami.  Islam menuntun manusia untuk menjalani hidup sesuai dengan sunatullah dan secara alami, Islam juga memberikan pedoman pola hidup yang sehat, dan bahkan mengajak manusia untuk hidup sehat.

Di beberapa ayat, al-Qur'an menyebutkan malam adalah untuk istirahat (tidur), sedangkan siang (baca: pagi hingga sore hari) untuk melakukan berbagai aktifitas kehidupan seperti mencari karunia Allah. Salah satu ayat menyebutkan: "Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya." (QS. 28:73)

Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup ini dengan segera tidur pada permulaan malam dan segera bangun sebelum fajar menyingsing atau tepatnya di akhir malam untuk bertahajjud (HR. Bukhari).

Sejak diutus menjadi rasul hingga akhir hayatnya, Rasulullah saw. selalu menghidupkan akhir malam dengan bertahajjud hingga bengkak kedua telapak kaki beliau (HR. Bukhari). Beliau menyatakan makruh hukumnya meninggalkan tahajjud bagi orang yang biasa bertahajjud (HR. Bukhari). Bahkan beliau tetap bertahajjud meskipun sedang menunggang unta ketika dalam perjalanan (HR. Bukhari). Pola hidup ini membuat beliau terkenal sebagai sosok yang mempunyai kesehatan fisik dan mental yang prima, dan sebagai sosok yang bijaksana dan kata-katanya penuh dengan hikmah.

Pola hidup ini adalah pola hidup yang alami. Suasana malam yang gelap tanpa ada sinar matahari, sunyi, tenang dan lebih dingin dibanding siang adalah suasana yang kondusif untuk bisa tidur dengan tenang dan nyenyak, Hewan adalah makhluk hidup yang menjalani kehidupan sesuai dengan sunatullah. Hewan tidak mempunyai akal dan nafsu yang menjadikan mereka mempunyai kemampuan dan kemauan melawan sunatullah. Hewan hidup menurut instingnya. Insting menuntun hewan – kecuali binatang malam seperti kelelawar - untuk tidur dan tidak beraktifitas di malam hari.

Di zaman yang sarat dengan teknologi canggih ini – yang mampu membuat malam menjadi terang benderang, hidup dan meriah - kehidupan malam telah menjadi kebiasaan, kebutuhan, bahkan kebanggaan bagi manusia modern. Tidak sedikit manusia modern termasuk kaum Muslimin yang melakukan berbagai aktivitas di malam hari yang membuat terlambat tidur atau bahkan tidak tidur sama sekali. Ada begitu banyak aktifitas yang mereka lakukan baik yang berkaitan dengan kehidupan akhirat maupun kehidupan dunia. Ada yang penting, bermanfaat, darurat, positif dan ada yang tidak seperti menonton TV dan bersenang-senang di klub malam atau di cafe.

Beraktifitas hingga tengah malam, dini hari atau bahkan hingga terbit fajar adalah praktek melawan sunatullah kecuali bagi mereka yang melakukan tugas-tugas penting dan darurat yang menyangkut hajat dan keselamatan hidup orang banyak dan tidak bisa tidak harus dilakukan di malam hari seperti para petugas keamanan dan petugas kesehatan. Juga bukan praktek melawan sunatullah, tidur awal dan bangun awal untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dan bermanfaat seperti belajar bagi penuntut ilmu, menulis bagi penulis, dan "taqorrub ilallah" (mendekatkan diri kepada Allah) bagi ibadurrahman (hamba-hamba Allah) dengan bertahajjud, memohon ampun, berdo'a, membaca dan mengkaji Al-Qur'an, dan berdzikir. Justru sedikit tidur di malam hari untuk beribadah kepada Allah di akhir malam adalah ciri orang yang bertakwa (QS. 51:15-18).

Penulis adalah ketua FUSSI (Forum Ukhuwah Sarjana Studi Islam) di IIUM dan mahasiswa program Master Ulumul Qur'an di IIUM (International Islamic University Malaysia)