Oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin
Berikut ini uraian
singkat tentang beberapa masalah yang berkaitan dengan bulan Sya’bân.
PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BÂN
Dalam shahih
Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu’anha
menceritakan,
“Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada
bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan
dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”[2]
Dalam riwayat
Bukhâri, ada riwayat lain,
“Beliau
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]
Dalam riwayat lain
Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]
Imam Ahmad rahimahullâh
dan Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah
bin Zaid radhiyallâhu’anhu, beliau mengatakan,
“Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan
sebagaimana Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan
Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa
sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan
Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat
kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang
puasa.“[5]
KEDUA,
TENTANG PUASA NISFU (PERTENGAHAN) SYA’BÂN
Ibnu Rajab rahimahullâh
menyebutkan dalam al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil
Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali radhiyallâhu’anhu
bahwa Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda, Jika malam
nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada
siangnya. Karena Allâh Ta’ala turun pada saat matahari tenggelam, lalu
berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ?
adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6]
Saya mengatakan,
“Hadits ini telah
dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau
rahimahullâh mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar,
hadits itu maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr,
Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam
Ahmad rahimahullâh dan Yahya bin Ma’in rahimahullâh
mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits’.”
Berdasarkan
penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu
bukan amalan sunnah. Karena berdasarkan kesepakatan para
ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang
derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini
bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat
pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan
Lighairi. Hadits Hasan Lighairi boleh dijadikan landasan untuk beramal
kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).
KETIGA,
TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BÂN
Ada beberapa
riwayat yang dikomentari sendiri oleh Ibnu Rajab rahimahullâh
setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan.
Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh
menilai sebagiannya shahih dan beliau membawakannya dalam shahih Ibnu
Hibbân.
Diantara
contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu’anha,
“Sesungguhnya
Allâh Ta’ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu
Allâh Ta’ala memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih
dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.”
Hadits ini
dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullâh
menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini
lemah. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan beberapa
hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, “Dalam bab ini
terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. “
As-Syaukâni rahimahullâh
menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallâhu’anha
tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullâh
menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa
dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân.
KEEMPAT,
TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BÂN
Untuk masalah ini
ada tiga tingkatan,
Tingkatan
pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa
melakukannya diluar malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa
melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa
dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa
memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam
ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak
apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh
Ta’ala
Tingkatan
kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân.
Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam yang menyatakan Beliau memerintahkan,
atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits
Ali radhiyallâhu’anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh,
“Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan
berpuasalah pada siangnya.”, sudah dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab
rahimahullâh menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha
rahimahullâh menilainya palsu.
Hadits seperti ini
tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar’i. Para Ulama
memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam
masalah fadhâilul a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat
yang harus terpenuhi, diantaranya,
- Syarat pertama, kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh.
- Syarat kedua, hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama.
Sebagaimana sudah
diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat
nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi karena perintah
ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi
Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullâh
dan yang lainnya.
Dalam al-Lathâif
(hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga
tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil
sahih pun dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam maupun dari
shahabat.
Muhammad Rasyid
Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta’ala
tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada
malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan
Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam juga tidak melalui
sunnah Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam.”
Syaikh Bin Baz rahimahullâh
mengatakan,
“Semua riwayat
yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat
palsu.”
Keterangan terbaik
tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in,
sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam
nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka
bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah,
keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.
Ada yang
mengatakan, ‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu
Sya’bân itu adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini
tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang
menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân,
sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu
perbuatan bid’ah.’
Tidak diragukan
lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar karena Allâh
Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(Qs al-Maidah/5:3)
Seandainya shalat
malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Ta’ala
jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu
‘Alaihi Wasallam melalui ucapan maupun perbuatan Beliau. Ketika
keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian
dari agama Allâh Ta’ala.
Semua (ibadah)
yang bukan bagian dari agama Allâh Ta’ala adalah bid’ah, sementara ada
dalil shahih dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, bahwa
Beliau bersabda, “Semua bid’ah itu sesat.”
Tingkatan
ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah
tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih
parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu.
As-Syaukâni rahimahullâh
mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat
tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat bathil dan palsu.”
KELIMA,
TERSEBAR KABAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BÂN ITU
DITENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU
Ini kabar yang
bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada
malam qadar lailatul Qadar).
Allâh Ta’ala
berfirman, yang artinya,
“Haa miim. Demi Kitab (al
Qur’ân) yang menjelaskan.Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
(Qs ad-Dukhân/44:1-4).
Malam
diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh Ta’ala berfirman,
yang artinya,
“Sesungguhnya kami telah
menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan.”(Qs al-Qadr/97:1)
yaitu pada bulan
Ramadhân, karena Allâh Ta’ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.
Allâh Ta’ala
berfirman, yang artinya,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.” (Qs al-Baqarah/2:185)
Orang yang mengira
bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Ta’ala menentukan apa
yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi
kandungan al-Qur’an.
KEENAM,
ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BÂN DAN
MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN
Ini yang mereka
namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada
dasarnya dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Sehingga
mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan bid’ah yang
telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam
dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”
Ketahuilah, orang
yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Ta’ala ini berarti dia telah
terjerumus dalam beberapa larangan :
a. | Perbuatannya menyiratkan
pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta’ala, yang artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu.” (Qs al-Maidah/5:3) Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red) |
b. | Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya. |
c. | Orang yang membuat-buat suatu
yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Ta’ala dalam
menghukumi manusia. Allâh berfirman, yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?” (Qs as-Syuura/42:21) |
d. | Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam karena yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh Beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang Beliau ketahui. |
e. | Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Ta’ala. Ini sangat dilarang oleh Allâh Ta’ala. |
f. | Kebid’ahan ini akan memecah belah
umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain
masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh
Ta’ala dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,” (Qs Ali Imrân/3:105) dan dalam firman-Nya, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golong, tidak ada sedikitpun tanggung-jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Qs al-An’âm/6:159) |
g. | Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya. |
Sesungguhnya apa
yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup
bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala
berfirman,
“Wahai manusia, sesungguhnya telah
datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya,
hendaklah mereka bergembira dengannya. karunia Allâh
dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
(Qs Yûnus/10:57-58)
Dalam ayat lain
Allâh Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Barangsiapa yang mengikut
petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”(Qs Thaha/20:123)
Akhirnya saya
memohon kepada Allâh Ta’ala agar senantiasa memberikan petunjuk kepada
kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shirâtul
mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Ta’ala agar senantiasa
menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Maha Dermawan dan
Maha Pemurah.
(Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV)
Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar