Alangkah
perlunya kaum muslimin hari ini untuk mengkaji perjalanan hidup sayyidah yang
agung ini, agar mereka menyadari betapa jauhnya perbandingan antara mereka
dengan generasi awal yang keluar dari madrasah nubuwwah, sehingga mereka
mengetahui betapa pengaruh iman itu sangat menakjubkan pada jiwa mereka yang
menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Hingga mereka menjadi lentera yang
menebarkan petunjuk dan cahaya. Dan di antara lentera tersebut adalah Ummul
Mukminin, Ramlah binti Abu Sufyan seorang pemuka Quraisy dan pimpinan
orang-orang musyrik hingga Fathu Makkah. Akan tetapi Ramlah binti Abu Sufyan
tetap beriman sekalipun ayahnya memaksa beliau untuk kafir ketika itu. Dan Abu
Sufyan tak kuasa memaksakan kehendaknya agar putrinya tetap dalam keadaan kafir.
Justru beliau menunjukkan kuatnya pendirian dan mantapnya kemauan. Beliau rela
menanggung beban yang melelahkan dan beban yang berat karena memperjuangkan
aqidahnya.
Pada
mulanya beliau menikah dengan Ubaidullah bin jahsy yang Islam seperti beliau.
Tatkala kekejaman orang-orang kafir atas kaum muslimin mencapai puncaknya,
Ramlah berhijrah menuju Habsyah bersama suaminya. Dan disanalah beliau
melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Habibah dan dengan nama
anaknya inilah beliau dijuluki (Ummu Habibah).
Ummu
Habibah senantiasa bersabar dalam memikul beban lantaran memperjuangkan diennya
dalam keterasingan dan hanya seorang diri, jauh dari keluarga dan kampung
halaman bahkan terjadi musibah yang tidak dia sangka sebelumnya. Beliau
bercerita:
"Aku melihat didalam
mimpi, suamiku Ubaidullah bin Jahsy dengan bentuk yang sangat buruk dan
menakutkan. Maka aku terperanjat dan terbangun, kemudian aku memohon kepada
Allah dari hal itu. Ternyata tatkala pagi, suamiku telah memeluk agama Nasrani.
Maka aku ceritakan mimpiku kepadanya namun dia tidak menggubrisnya".
Si
murtad yang celaka ini mencoba dengan segala kemampuannya untuk membawa
istrinya keluar dari diennya namun Ummu Habibah menolaknya dan dia telah
merasakan lezatnya iman. Bahkan beliau justru mengajak suaminya agar tetap
didalam Islam namun dia malah menolak dan membuang jauh ajakan tersebut
dan dia semakin asyik dengan khamr. Hal itu berlangsung hingga dia mati.
Hari-hari
berlalu di bumi hijrah sementara dirinya berada dalam dua ujian; pertama, jauh
dari sanak saudara dan kampung halaman. Kedua, ujian karena menjadi seorang
janda tanpa seorang pendamping. Akan tetapi beliau dengan keimanan yang tulus
yang telah Allah karuniakan kepadanya, mampu menghadapi ujian berat
tersebut.Beliau wujudkan firman Allah (artinya):
"Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.Dan memberikan
rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.Dan berangsiapa yang telah
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu".(ath-Thalaq:2-3).
Allah
berkehendak untuk membulatkan tekadnya, maka dia melihat dalam mimpinya ada
yang menyeru dia: "Wahai Ummul Mukminin….!". Maka beliau terperanjat
dan terbangun karena mimpi tersebut. Beliau menakwilkan mimpi tersebut
bahwa Rasulullah kelak akan menikahinya.
Setalah
selesai masa 'iddahnya, tiba-tiba ada seorang jariyah dari Najasyi yang
memberitahukan kepada beliau bahwa dirinya telah dipinang oleh pimpinan semua
manusia seutama-utama shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada beliau.
Alangkah bahagianya beliau mendengar kabar gembira tersebut hingga beliau
berkata: "Semoga Allah memberikan kabar gembira untukmu". Kemudian
beliau menanggalkan perhiasan dan gelang kakinya untuk diberikan kepada Jariyah
(budak wanita) yang membawa kabar tersebut saking senangnya. Kemudian beliau
meminta Khalid bin Sa'ad bin al-'Ash untuk menjadi wakil baginya agar menerima
lamaran Najasyi yang mewakili Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk
menikahkan beliau dengan Ummu Habibah setelah Rasulullah menerima kabar
tentang keadaan beliau dan ujian yang dia hadapi dalam menapaki jalan diennya.
Sedangkan tiada seorangpun yang menolong dan membantu dirinya. Pada suatu sore,
Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang berada di Habasyah, maka datanglah
mereka dengan dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib, putra paman Nabi Shallallâhu
'alaihi wasallam. Selanjutnya Raja Najasyi berkata:
"Segala puji bagi Allah
Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengkaruniakan Kemanan, Yang
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan,
Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah yang telah dikabarkan oleh Nabi Isa bin Maryam 'alaihissalaam .
Amma ba'du, Sesungguhnya
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengirim surat
untukku untuk melamarkan Ummu Habibah binti Abu Sufyan dan Ummu Habibah telah
menerima lamaran Rasulullah, adapun maharnya adalah 400 dinar". Kemudian
beliau letakkan uang tersebut didepan kaum muslimin.
Kemudian Khalid bin Sa'id
berkata:"Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya,
aku bersaksi bahwa tiada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya, yang Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan dein
yang haq untuk memenangkan dien-Nya walaupun orang-orang musyrik benci.
Amma ba'du, aku terima lamaran
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan aku nikahkan
beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah memberkahi Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam. Selanjutnya Najasyi menyerahkan dinar tersebut kepada Khalid
bin Sa'id kemudian beliau terima. Najasyi mengajak para sahabat untuk
mangadakan walimah dengan mengatakan: "Kami persilahkan anda untuk duduk
karena sesungguhnya sunnah para Nabi apabila menikah hendaklah makan-makan
untuk merayakan pernikahan".
Setelah kemenangan Khaibar,
sampailah rombongan Muhajirin dari Habasyah, maka Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam bersabda: "Dengan sebab apa aku harus
bergembira,karena kemenangan Khaibar atau karena datangnya Ja'far?"
Sedangkan Ummu Habibah bersama
rombongan yang datang. Maka bertemulah Rasululah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam dengannya pada tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Kala itu Ummu
Habibah berumur 40 tahun saat menduduki sebagai bintang berseri diantara
istri-istri beliau dan jadilah beliau Ummul Mukminin.
Ummu Habibah menempatkan urusan
dien pada tempat yang pertama, beliau utamakan aqidahnya daripada famili.
Beliau telah mengumandangkan bahwa loyalitas beliau adalah untuk Allah dan
Rasul-Nya bukan untuk seorangpun selaiin keduanya. Hal itu dibuktikan sikap
beliau terhadap ayahnya, Abu Sufyan, tatkala suatu ketika ayahnya tersebut
masuk ke rumah beliau sedangkan beliau ketika itu telah menjadi istri Rasul Shallallaahu
'alaihi wa sallam di Madinah. Sang ayah datang untuk meminta bantuan kepada
beliau agar menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam untuk memperbaharui perjanjian Hudaibiyah yang telah
dikhianati sendiri oleh orang-orang musyrik. Abu Sufyan ingin duduk diatas
tikar Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam, namun tiba-tiba dilipat oleh
Ummu Habibah, maka Abu Sufyan bertanya dengan penuh keheranan: "Wahai
putriku aku tidak tahu mengapa engkau melarangku duduk di tikar itu, apakah
engkau malarang aku duduk diatasnya?". Beliau menjawab dengan keberanian
dan ketenangan tanpa ada rasa takut terhadap kekuasaan dan kemarahan ayahnya:
"Ini adalah tikar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedangkan
engkau adalah orang musyrik yang najis, aku tidak ingin engkau duduk diatas
tikar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam". Abu Sufyan
berkata:"Demi Allah engkau akan menemui hal buruk sepeningalku
nanti". Namun Ummu Habibah menjawab dengan penuh wibawa dan percaya diri:
"bahkan semoga Allah memberi hidayah kepadaku dan juga kepada anda wahai
ayah, pimpinan Quraisy, apa yang menghalangi anda masuk Islam? sedangkan engkau
menyembah batu yang tidak dapat melihat maupun mendengar!!". Maka Abu
Sufyan pergi dengan marah dan membawa kegagalan.
Sungguh beliau berhak
menyandang segala kebesaran dan keagungan sebagai Ummul Mukminin, Ummu Habibah radhiallaahu
'anhuma. Seandainya para wanita itu seperti beliau niscaya hasilnyapun
seperti yang terjadi pada beliau.
Setelah Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa sallam menghadap ar-Rafiiqul A'la, Ummu Habibah melazimi
rumahnya. Beliau tidak keluar rumahnya kecuali untuk shalat dan beliau tidak
meninggalkan Madinah kecuali untuk haji hingga sampailah waktu wafat yang di
tunggu-tunggu tatkala berumur tujuh puluhan tahun. Beliau wafat setelah
memberikan keteladanan yang paling tinggi dalam menjaga kewibawaan diennya dan
bersemangat atasnya, tinggi dan mulya jauh dari pengaruh jahiliyah dan tidak
menghiraukan nasab manakala bertentangan dengan aqidahnya, semoga Allah
meridhainya. ( dimuraaja'ah pada hari Rabu, 24/11/1422 H= 6/2/2002 M).