Jumat, 05 Desember 2014

Bukan Terminal Perhentian



Menikah adalah keindahan, kuali bagi yang menganggapnya sebagai beban rumah tangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Nikah, dakwah dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang-orang yang terkacaukan logika dan nalarnya. Menikah adalah bagian dari dua hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sebagai buah yang dipetik atau rehat yang diambil setelah lama menjadi aktivis bujang.

Amat heran saya mendengar kata-kata yang dipakai sebagai alasan untuk menunda pernikahan. “Akhi..”, dengan penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “Saya kira antum berbicara tentang pernikahan bukan dengan dengan orang yang tepat. Saya ingin menikah, insyaallah nanti setelah mengoptimalkan produktivitas da’wah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih telau kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang digambarkan sebagai jundi da’wah. Apa kita angga malu, bahwa yang kita bicarakan pernikahan, pernikahan, dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda  seperti Usamah hit Zaid yang menjadi panglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab Ibn ‘Umair yang di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuda da’wah di Madinah. Lihatlah ‘Ali Ibn Abi Thalib..”

Alaahu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghirah da’wah beliau yang setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Allah menguatkannya selalu. Hanya saja, saya mendengar  bahwa cara berfikir beliau berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dalam kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita bisa meneladani Usamah, Mush’ab dan ‘Ali. Sepertinya sesudah menikah, tidak memungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika kita belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum kita menikah.

Dalam pengamatan saya, cara berfikir ini bermula dari persepsi bahwa ‘menikah dengan seorang akhwat yang shalihah adalah buah dari da’wah.’ Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari da’wah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan ‘berprestasi’ dalam da’wah. Seakan pernikahan adalah episode abu yang –kasarnya- menjadi tujuan dari da’wahnya selama ini.

By: Salim A. Fillah